Makna Kitab Kuning Fathul Qorib (Fathul Qarib) Terjemahan

Terjemahan Kitab Fathul Qorib Tentang Bab Najis (Kitab Taqrib)


Penjelasan terjemah Fathul Qorib tentang bab najis atau najasah, bisa Anda lihat di kitab aslinya, kitab Taqrib bab najis halaman 9 - 10.

فَصْلٌ

Fasal ini menjelaskan najis dan menghilangkannya. Di dalam sebagian redaksi, fasal ini disebutkan sebelum “Kitab Sholat”.

Najis secara bahasa adalah sesuatu yang dianggap jijik. Dan secara syara’ adalah setiap benda yang haram digunakan secara mutlak, dalam keadaan normal serta mudah untuk dibedakan, bukan karena kemuliannya, jijiknya dan bukan karena berbahaya pada badan atau akal.

Bahasa “mutlak” mencakup najis yang sedikit dan banyak. Dengan istilah لْاِخْتِيَار "dalam keadaan normal” mengecualikan keadaan darurat. Karena sesungguhnya keadaan darurat memperbolehkan untuk menggunakan najis.

Dengan istilah  سُهُوْلَةِ التَّمْيِيْزِ “mudah dipisahkan” mengecualikan memakan ulat yang mati di dalam keju, buah dan sejenisnya.

Dengan ungkapan mushannif لَا لِحُرْمَتِهَا “bukan karena kemuliannya” mengecualikan mayatnya anak Adam.

Dengan keterangan الْإِسْتِقْذَارِ “tidak karena menjijikkan” mengecualikan sperma dan sejenisnya.

Dengan bahasa بِنَفْيِ الضَّرَرِ  “tidak karena membahayakan” mengecualikan batu dan tanaman yang berbahaya pada badan atau akal.

Kemudian mushannif menyebutkan batasan najis yang keluar dari qubul dan dubur dengan perkataan beliau :

وَكُلُّ مَائِعٍ خَرَجَ مِنَ السَّبِيْلَيْنِ نَجَسٌ

Setiap benda cair yang keluar dari dua jalan hukumnya adalah najis. 
Hal ini mencakup benda yang biasa keluar seperti kencing dan tahi, dan benda yang jarang keluar seperti darah dan nanah.

إَلَّا الْمَنِيَّ

Kecuali sperma dari anak Adam atau binatang selain anjing, babi dan peranakan keduanya atau salah satunya hasil perkawinan dengan binatang yang suci.

Dengan bahasa مَائِعٍ “benda cair”, mengecualikan ulat dan setiap benda padat yang tidak diproses oleh lambung, maka hukumnya tidak najis, akan tetapi terkena najis yang bisa suci dengan dibasuh.

Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa كُلُّ مَا يَخْرُجُ “setiap perkara yang akan keluar” dengan menggunakan lafadz fi’il mudlari’ dan membuang lafadz “مَائِعٍ’ .

وَغَسْلُ جَمِيْعِ الْأَبْوَالِ وَالْأَرْوَاثِ

Membasuh semua jenis air kencing dan kotoran walaupun keduanya dari binatang yang halal dimakan dagingnya,

وَاجِبٌ

hukumnya adalah wajib.
Cara membasuh najis jika terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis ainiyah” adalah dengan menghilangkan bendanya dan menghilangkan sifat-sifatnya, baik rasa, warna, atau baunya.

Jika rasa najis masih ada, maka berbahaya. Atau yang masih tersisa adalah warna atau bau yang sulit dihilangkan, maka tidak masalah.

Jika najisnya tidak terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis hukmiyah”, maka cukup dengan mengalirnya air pada tempat yang terkena najis tersebut, walaupun hanya satu kali aliran.

Kemudian dengan bahasa الْأَبْوَالِ  “jenisnya air kencing”, mushannif mengecualikan perkataan beliau yang berbunyi :

إِلَّا بَوْلَ الصَّبِيِّ الَّذِيْ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ

kecuali air kencingnya anak kecil laki-laki yang belum pernah memakan makanan, maksudnya belum pernah mengkonsumsi makanan dan minuman untuk penguat badan.

فَإِنَّهُ

Maka sesungguhnya air kencing anak laki-laki tersebut

يَطْهُرُ بِرَشِّ الْمَاءِ عَلَيْهِ

sudah bisa suci dengan hanya memercikkan air padanya. Dalam memercikkan air, tidak disyaratkan harus sampai mengalir.

Jika anak kecil laki-laki tersebut telah mengkonsumsi makanan untuk penguat badan, maka air kencingnya harus dibasuh secara pasti.

Dengan bahasa الْصَبِيِّ “anak laki-laki”, mengecualikan anak kecil perempuan dan huntsa, maka air kencing keduanya harus dibasuh.

Dan disyaratkan dalam membasuh barang yang terkena najis, airnya yang dialirkan pada barang tersebut jika airnya sedikit. Jika dibalik, maka barang tersebut tidak suci.

Sedangkan jika airnya banyak, maka tidak ada bedanya antara barang yang terkena najis yang datang atau didatangi air.

وَلَا يُعْفَى عَنْ شَيْئٍ مِنَ النَّجَاسَاتِ إِلَّا الْيَسِيْرُ مِنَ الدَّمِّ وَالْقَيْحِ

Tidak ada najis yang dima'afkan kecuali darah dan nanah yang sedikit. Maka keduanya dima’fu di pakaian dan badan, dan sholat yang dilakukan tetap sah walaupun membawa keduanya.

وَ مَا

Dan kecuali perkara,

لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ

yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat dan semut,

إِذَا وَقَعَ فِيْ الْإِنَاءِ وَمَاتَ فِيْهِ فَإِنَّهُ لَا يُنَجِّسُهُ

ketika binatang tersebut masuk ke dalam wadah air dan mati di sana. Maka sesungguhnya hal itu tidak menajiskan wadah air yang dimasukinya.

Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa إِذَا مَاتَ فِي الْإِنَاءِ “ketika mati di dalam wadah”.

Perkataan mushannif وَقَعَ أَيْ بِنَفْسِهِ “terjatuh sendiri”, memberi pemahaman bahwa sesungguhnya seandainya bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir itu dimasukkan ke dalam benda cair, maka berbahaya (menajiskan).

Imam ar Rafi’i mantap dengan pendapat ini di dalam kitab Syarah Shaghir, namun beliau tidak menyinggung masalah ini di dalam kitab Syarah Kabir.

Ketika bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir itu berjumlah banyak dan merubah sifat cairan yang dimasukinya, maka bangkai itu menajiskan benda cair tersebut.

Ketika bangkai ini muncul dari benda cair seperti ulatnya cuka dan buah-buahan, maka tidak menajiskan cairan tersebut secara pasti.

Di samping apa yang telah dijelaskan oleh mushannif, masih ada beberapa permasalahan yang dikecualikan yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas keterangannya, sebagiannya telah dijelaskan di dalam “Kitab Thaharah”.
 
 
Terjemahan Kitab Fathul Qorib Tentang Bab Najis



وَالْحَيَّوَانُ كُلُّهُ طَاهِرٌ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيْرَ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا

Semua binatang hukumnya suci kecuali anjing, babi, dan peranakan keduanya atau salah satunya hasil perkawinan dengan binatang yang suci.

Ungkapan mushannif ini mencakup terhadap sucinya ulat yang muncul dari najis, dan memang demikinlah hukumnya.

وَالْمَيْتَةُ كُلُّهَا نَجَسَةٌ إِلَّا السَّمَكَ وَالْجَرَادَ وَالْآدَمِيَّ

Bangkai, semuanya hukumnya adalah najis kecuali bangkai ikan, belalang dan anak Adam. Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa ابْنُ آدَمَ “ibn Adam”, maksudnya bangkai masing-masing barang di atas, maka sesungguhnya hukumnya suci.

وَيَغْسِلُ الْإِنَاءَ مِنْ وُلُوْغِ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيْرِ سَبْعَ مَرَّاتٍ

Wadah yang terkena liur anjing atau babi, maka harus dibasuh tujuh kali dengan menggunakan air suci mensucikan

إِحَدَاهُنَّ

salah satu basuhan dicampur

بِالتُّرَابِ

dengan tanah suci mensucikan, yang merata ke seluruh tempat yang terkena najis.
Jika barang yang terkena najis tersebut dibasuh dengan air mengalir yang keruh, maka cukup mengalirnya air tersebut tujuh kali tanpa harus dicampur dengan tanah.

Ketika benda najis anjing tersebut belum hilang kecuali dengan enam basuhan misalnya, maka seluruh basuhan dianggap satu kali basuhan.

Tempat yang bertanah yang terkena najis, tidak wajib diberi tanah saat membasuhnya, menurut pendapat tershahih.

وِيُغْسَلُ مِنْ سَائِرِ

Dan cukup dibasuh untuk 

النَّجَاسَاتِ مَرَّةً وَاحِدَةً

berbagai najis yang lain, sekali
Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa مَرَّةً

تَأْتِيْ عَلَيْهِ وَالثَّلَاثُ

yang di alirkan pada najis tersebut.  Adapun tiga kali 
Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa الثَّلَاثَةُ dengan menggunakan ta’ diakhirnya.

أَفْضَلُ

adalah lebih utama. 

Ketahuilah sesungguhnya air basuhan najis setelah sucinya tempat yang dibasuh, hukumnya adalah suci, jika air tersebut terpisah dari tempat yang dibasuh dalam keadaan tidak berubah dan tidak bertambah ukurannya setelah terpisah dari kadar ukuran sebelumnya beserta menghitung kadar air yang diserap oleh tempat yang dibasuh.

Hal ini jika air basuhan tersebut tidak mencapai dua qullah. Jika mencapai dua qullah, maka syaratnya adalah tidak berubah.

Setelah mushannif selesai menjelaskan najis yang bisa suci dengan dibasuh, maka beliau berlanjut menjelaskan najis yang suci dengan istihalah, yaitu perubahan sesuatu dari satu sifat ke sifat yang lain. Beliau berkata,

إِذَا تَخَلَّلَتِ الْخَمْرَةُ

Ketika arak telah menjadi cuka
Arak adalah minuman yang terbuat dari air perasan anggur, baik arak tersebut dimuliakan ataupun tidak. Makna تَخَلَّلَتْ  adalah arak menjadi cuka.

بِنَفْسِهَا طَهُرَتْ

dengan sendirinya, maka hukumnya suci. 
Begitu juga hukumnya suci, seandainya ada arakyang berubah menjadi cuka sebab dipindah dari tempat yang terkena matahari ke tempat yang teduh dan sebaliknya.

وَإِنْ

Jika arak berubah menjadi cuka tidak dengan sendirinya, tetapi

تَخَلَّلَتْ بِطَرْحِ شَيْئٍ فِيْهَا لَمْ تَطْهُرْ

menjadi cuka dengan memasukkan sesuatu ke dalamnya, maka arak tersebut tidak suci.
Ketika arak menjadi suci, maka wadahnya pun menjadi suci karena mengikut pada araknya.

Fasal selanjutnya tentang Darah wanita

BACA JUGA : 7 Rekomendasi Kitab Fathul Qorib


Back To Top